Juli 2017



Sejumlah spekulasi politik menyeruak seusai Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersamuh di Cikeas, Kamis (27/7/2017) pekan lalu.

Salah satu spekulasi itu adalah, kedua pentolan partai yang berada di luar lingkar kekuasaan itu bersepakat menempatkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bakal calon wakil presiden. AHY akan dipasangkan dengan Prabowo yang disetujui sebagai bakal capres.

Namun, seusai acara ‘Malam Budaya Manusia Bintang 2017’ di Jakarta Pusat, Sabtu (29/7), AHY membantah adanya kesepakatan tersebut.

“Tidak, sama sekali tidak. Isi pembicaraan Pak SBY dan Pak Prabowo itu semuanya mengenai persoalan yang dihadapi bangsa saat ini,” tutur putra sulung SBY tersebut.

Mantan peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 itu menuturkan, seluruh topik pembicaraan dalam persamuhan tersebut tidak seperti yang dibayangkan atau spekulasikan banyak pihak.

Tidak ada koalisi politik untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang terbentuk. Tak pula ada rencana untuk memutuskan bakal capres dan cawapres.



Agus juga hanya tertawa ketika diminta menjawab perandaian kalau dirinya jadi dipasangkan sebagai bakal cawapres Prabowo.

"He-he-he, pertanyaan menjebak itu. Saya tak mau membahas persoalan politik jangka pendek karena akan menimbulkan spekulasi yang liar. Saya tak ingin setiap pertemuan politik hanya diartikan sebagai pembentukan koalisi. Sebab, pertemuan itu tidak hanya membicarakan kepentingan kelompok tertentu,” tandasnya.


Langkah Joko Widodo untuk kembali untuk kembali mencalonkan diri di Pemilihan Presiden tahun 2019 dinilai tidak mudah. Sebagai petahana, sejumlah isu bakal menghadangnya.

Peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas mengatakan, salah satu isu yang bakal menghadang Jokowi adalah soal pemilih muslim sebagai mayoritas.

Politik identitas berdasarkan agama ini pernah mengemuka saat Pilkada DKI Jakarta. Jokowi saat ini santer disebut dekat dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang banyak ditolak oleh kelompok muslim karena nonmuslim. Ahok adalah calon petahana yang berpasangan dengan Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2012 dan menang.

Karena itu Abbas menyebut dibutuhkan partai politik pengusung yang dianggap mewakili kelompok Islam di Pilpres 2019.

"PKB dianggap representatif politik Islam moderat di Indonesia, pertanyaannya akan seberapa kuat akan memberikan proteksi dan kekuatan politik Jokowi ke depan," kata Abbas dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (30/7).

Isu yang bakal menghadang selanutnya adalah soal relasi sipil dan militer. Isu ini menjadi penting lantaran mulai muncul lagi isu soal kebutuhan pemimpin yang kuat.
Isu Agama dan Relasi Sipil-Militer, Ganjalan Jokowi di 2019Sejumlah isu bakal jadi ganjalan Jokowi jika ia kembali maju di Pilpres 2019. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Saat ini, kata Abbas, Jokowi belum dianggap sebagai sosok pemimpin yang kuat lantaran ia berasal dari kalangan sipil.

"Jokowi belum (dianggap kuat) karena sipil, (sehingga) mulai ditawarkan kembali militer di pemerintahan. Relasi sipil-militer di 2019 ini nanti seberapa kuat masuk ke perhatian publik, seberapa besar Indonesia mempersepsikan diri soal kebutuhan politik apakah sipil atau militer," katanya.


Isu selanjutnya terkait dengan kepercayaan publik terhadap kinerja Jokowi. Dan yang terakhir, isu soal performa ekonomi dankeamanan nasional.

“Yang akan jadi prioritas Jokowi dua tahun ke depan memastikan kinerjanya mencapai atau melebihi target tanpa gejolak ekonomi, politik, atau keamanan yang besar," tutur Abbas

Di tempat yang sama, politikus Partai Kebangkitan Bangsa Maman Imanulhaq mengakui isu-isu tersebut bakal jadi rintangan Jokowi. Ia menggarisbawahi isu sentimen agama yang akan banyak menghadang Jokowi. Isu-isu tersebut bahkan sudah mulai dimainkan sejak sekarang.

Misalnya isu kriminalisasi pada tokoh-tokoh agama. PKB, kata Maman, sudah jelas menyatakan, kasus-kasus tersebut tak ada kaitannya dengan Jokowi. Namun sejumlah pihak masih kukuh berpendapat ada krimininalisasi.

Isu lain, kata Maman, masih dengan sentimen agama. Misalnya soal alokasi anggatan pendidikan 20 persen dari APBN atau senilai Rp419 triliun. Maman menyebut, mulai ada tudingan bahwa dana pendidikan itu tidak sampai ke sekolah-sekolah berbasis Islam seperti madrasah dan pesantren. Isu baru yang muncul dan digoreng lagi adalah soal pengelolaan dana jemaah haji.

Direktur Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirajudin Abbas menganggap mustahil Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berniat berkoalisi dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk Pemilihan Presiden 2019.

Hal ini disebabkan ada cerita di antara keduanya semasa masih berkuasa di militer.




"SBY anggota jenderal yang memberikan rekomendasi agar Prabowo dipecat. Mana mungkin mantan presiden rekomendasikan dan dukung jenderal yang diusulkan untuk dipecat. Itu nilainya rendah sekali," ujar Sirajudin dalam diskusi di Jakarta, Minggu (27/7/2017).

Saat Prabowo menjadi salah satu calon presiden dalam Pilpres 2014, beredar surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang isinya berupa keputusan untuk memberhentikan Prabowo dari ABRI. Dalam surat tersebut tertulis bahwa keputusan DKP dibuat pada 21 Agustus 1998.

Surat itu ditandatangani oleh para petinggi TNI kala itu, salah satunya SBY. Berdasarkan hasil sidang DKP, Prabowo diketahui telah melakukan sejumlah pelanggaran yang dianggap tak layak terjadi dalam kehidupan prajurit dan kehidupan perwira TNI.

Terlepas dari surat keputusan itu, kata Sirajudin, SBY dan Prabowo tak pernah terlihat bertemu sejak memasuki dunia politik. Ia menganggap pertemuan itu tak lebih dari membahas isu-isu terkini dan agenda bersama untuk 2019 di luar koalisi.

"Pertemuan itu membangun basis jangka panjang. Dan menunjukkan mereka bagian oposisi pemerintah," kata Sirajudin.


Jika memang terjadi koalisi antara dua partai itu, Sirajudin meyakini Prabowo tak akan diusung menjadi calon presiden.

Pertemuan itu, kata dia, sekaligus "cek ombak" untuk melihat reaksi masyarakat apakah menjanjikan menggeser posisi Presiden Joko Widodo.

Namun, hingga kini, Prabowo dan Gerindra belum menunjukkan sinyalemen akan mengusung calon lain.

"Tapi meliat hubungan dengan Demokrat, kemungkinan ada calon lain. Ini masih sangat terbuka. Meski sekarang belum ada alasan elektoral Prabowo ke samping, nanti akan terlihat beberapa bulan sebelum pencalonan," kata Sirajudin.


Sengaja Saya tidak memberikan komentar atau artikel tertulis pada saat pertemuan SBY dan PRABOWO Dua hari lalu, tepatnya tanggal 27 Juli 2017 yang baru berlalu. Saya turut mengamati pertemuan tersebut dari dekat dan mengikuti detik demi detik pertemuan yang menurut pengamatan saya sangat akrab, sangat dekat, saling menghargai dan saling menghomati.

Pertemuan Dua poros politik dan Dua tokoh Bangsa yang menjadi kekuatan politik Nasional. Pertemuan tersebut jauh dari konotasi negatif namun sungguh seluruh pembicaraan bermuara pada bagaimana membentuk kerjasama moral mengawal perjalanan bangsa Indonesia dan bagaimana membangkitkan Indonesia yang tidak seharusnya mengalami masa sulit seperti sekarang. Itulah semangat pertemuan antara SBY dan PRABOWO yang jelas terungkap dari isi pembicaraan dan substansi konperensi pers setelah pertemuan.

Pasca pertemuan yang bertujuan baik demi Bangsa dan Negara tersebut, anehnya justru memunculkan reaksi dan respon terbalik yang membalikkan logika waras. Pertemuan yang mestinya adalah kritik membangun bagi pemerintahan Jokowi, justru menunjukkan Jokowi anti kritik dan malah mengkritik balik pertemuan tersebut. Nampaknya diplomasi Nasi Goreng Gerobak suguhan makan malam dari SBY kepada PRABOWO membuat Jokowi kepedasan. SBY dan PRABOWO yang makan nasi goreng, tapi Jokowi yang kegigit cabe rawit dan kepedasan. Itulah analogi yang bisa mewakili suasana sebelum pertemuan dan setelah pertemuan.


Sebelum pertemuan berlangsung, Jokowi sudah nampak keluar kegenitan politiknya mengomentari rencana pertemuan tersebut.

Mungkin reaksi Jokowi yang tak sepatutnya tersebut adalah ungkapan kekuatiran dan kegalauan karena Dua tokoh yang diprediksi tidak akan bisa menyatu, ternyata malah bersatu akibat pemaksaan kehendak Pemerintah mengesahkan UU PEMILU yang cacat logika.

“Pertemuan tersebut bagus saja *asalkan* untuk kepentingan bangsa dan bukan untuk kepentingan kelompok atau diri sendiri”. Begitulah kira-kira tanggapan Jokowi atas rencana pertemuan SBY dengan PRABOWO. Garis bawahi kata “asalkan” yang digunakan oleh Jokowi.

Pertanyaannya, apa hak Jokowi mencampuri dan mengatur-atur Substansi pertemuan SBY dengan PRABOWO? Kata asalkan itu adalah penekanan syarat, boleh ketemu dengan syarat asalkan untuk bangsa. Lantas apakah SBY dan PRABOWO tidak boleh ketemu hanya untuk makan nasi goreng? Ahh Jokowi panik, galau dan gusar karena strategi politiknya untuk melanggeng jadi presiden 2 periode hancur berantakan. Padahal SBY dan PRABOWO baru akan makan nasi goreng malamnya, tapi efek pedasnya sudah dirasakan Jokowi sejak pagi hari.

Pernyataan yang disampaikan oleh SBY dan PRABOWO pasca pertemuan tertutup kepada media justru sepatutnya dihormati Jokowi karena ada tokoh bangsa yang membantunya meluruskan arah pemerintahan. SBY misalnya, menyampaikan bahwa Pemerintahan tidak boleh berjalan tanpa kontrol dan PRABOWO menyatakan sikap politiknya bahwa UU PEMILU yang disahkan adalah lelucon politik.

Apa yang disampaikan oleh SBY dan PRABOWO adalah sebuah sikap membangun demokrasi, sikap mengawal demokrasi dan mengawal negara dengan seruan moral bukan seruan makar. Sayang sekali, Jokowi justru menurunkan dirinya jadi tukang kritik yang anti kritik atau sebagai pengamat pertemuan. Maaf, saya harus menyampaikan seperti itu terkait dengan reaksi Jokowi yang tampak sangat kepedasan, meski Jokowi tak ikut makan nasi goreng di Cikeas.

Jokowi contohnya mengkritik ucapan SBY tentang pemerintahan tanpa kontrol dengan menyatakan bahwa ada DPR, ada LSM dan ada Rakyat. Apakah mungkin pak Jokowi pura-pura tidak tahu kalau DPR sudah kehilangan fungsi pengawasan dan berubah jadi lembaga tukang stempel pemerintah?* Jokowi juga sepertinya pura-pura tidak menyadari bahwa ada beberapa pelanggaran UU yang didiamkan oleh DPR seperti pelanggaran UU Minerba, UU Keuangan dan UU APBN. Masihkah itu disebut pengawasan DPR? Dan terkait LSM serta Rakyat, Jokowi tampaknya juga pura-pura tidak tahu bahwa banyak LSM dan Rakyat yang ditangkapi Polisi dengan alasan ujaran kebencian dan tuduhan makar itu membuat LSM dan Rakyat takut mengkritik. Ahh sudahlah, memang Jokowi tampak ahli dalam politik kepura-puraan.

Sementara itu, Jokowi mengkritik Prabowo tentang UU Pemilu yang merupakan lelucon politik hanya dengan mentampaikan bahwa dulu juga sudah 20%. Mengapa dulu begitu tampakya Jokowi tak punya argumen dan mengapa sekarang begitu tampak juga tanpa argumen. Jokowi sangat terkesan tidak paham tentang dulu dan tidak paham tentang sekarang pemilu serentak. *Ahh sudahlah, tak berguna juga memberikan argumen, karena argumen dari pakar Hukum Tata Negara seperti Mahfud MD, Jimly Assidiqi, Saldi Izra dan lain-lain toh tak dianggap oleh Jokowi.


Cukup sampai disini, nanti artikel ini terlalu panjang membuat Jokowi tak membacanya, karena saya sangat ingin Jokowi membacanya agar Jokowi merubah diri tidak menjadi anti kritik.

Dan paling perlu disini, Jokowi jangan kepedasan karena yang makan nasi goreng dengan kerupuk dan sedikit rawit adalah SBY dan PRABOWO.



Soal mental memang menjadi kata kunci saat ini. Jokowi meluncurkan istilah revolusi mental tahun 2014, di kolom Opini harian Kompas, yang menyoroti kelemahan mental penyelenggara negara yang rakus, korup, boros, suka minjam hutang asing, menyerahkan sumberdaya alam ke asing, dan absen dalam konflik horizontal. Melalui revolusi mental, Jokowi meyakinkan publik bahwa Indonesia bisa berubah menjadi bangsa besar. Bangsa yang mandiri, berdaulat dan tidak di bawah ketiak asing.



Mentornya Jokowi, Megawati Soekarnoputri, juga tidak kalah galak soal mental ini. Pada tahun 2015, sedikitnya Mega menuduh bangsa ini bermental budak karena keturunan budak. Hal itu disampaikan dalam kesempatan pidato di Lemhanas dan kampanye pilkada di Sulut. Menurut Megawati orang2 Indonesia musti dilakukan pendekatan dengan paksa agar mau bekerja.Kalau tidak mereka pemalas.

Menteri Jokowi, Puan Maharani, pada tahun 2016 di Bali mengejek orang orang miskin yang bersandar hidup pada beras raskin. Ini sebuah mental pengemis. Menurutnya, sebaiknya orang orang miskin itu diet dan mengurangi makan saja.

Akhirnya, pada tahun 2017 ini, beberapa hari lalu, menteri keuangan Jokowi menista rakyat Indonesia sebagai rakyat bermental gratisan.


Menurut Sri Mulayani, pemerintah fokus pada anggaran infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Ketiganya adalah gratis untuk rakyat.

Dari keempat penentu rezim Jokowi ini, Presiden Jokowi dalam Revolusi Mental sebenarnya memfokuskan pembahasan pada penyelenggara negara dan nation building. Sebaliknya, Mega, Puan dan Sri Mulyani menohok rakyat sebagai manusia nista. Rakyat yang tidak punya motivasi menjadi lelaku atau subjek dalam kehidupan yang ada. Namun, keterkaitan Revolusi Mental dengan ketiga orang tersebut juga terjadi ketika Jokowi menanyakan dari mana memulai revolusi mental itu? Jokowi, dalam tulisannya, mengatakannya dari manusia manusia individuil. Sambil mengutip ayat Al Quran yang menyatakan Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum, kecuali keinginan kaum itu sendiri. Dus, oleh karenanya, kita tetap melihat isu mental antara Jokowi tahun 2014, Mega tahun 2015, Puan tahun 2016 dan Sri Mulyani tahun 2017 ada benang merah yang kuat: Mental Rakyat Indonesia adalah Mental Gratisan.

Mental Gratisan

Tudingan mental gratisan bukanlah hal baru di dunia ini. Suatu peristiwa yang paling terkenal adalah di masa Inggris diperintah Margaret Thatcher, tahun 80 an. Thatcher merombak sistem negara kesejahteraan Inggris dengan menghapuskan semua subsidi subsidi yang diberikan negara kepada orang orang miskin di sektor pendidikan, kesehatan, transfer bantuan langsung tunai, dan lainnya. Menurut dia, orang orang harus hidup berdasarkan hukum besi: Survival for the fittest. Yang lemah biarkan mati. Karena dunia ini memang tidak pantas bagi manusia manusia lemah Dan orang orang produktif tidak boleh mensubsidi orang orang malas. Lalu, dikenanglah Thatcher sebagai Wanita Besi (Iron Lady).

Megawati, Puan dan Sri Mulyani tentu saja mempunyai prinsip yang sama. Yakni cara pandang bahwa orang orang miskin adalah beban. Kita melihat dalam rezim Jokowi, harga harga banyak yang dilepas kepada pasar dengan harga yang tinggi, seperti BBM, Listrik, beras dll. Hal ini dilakukan karena tidak ada aturan legal yang membatasi pemerintah.

Sebaliknya, pada pendidikan dan kesehatan itu tidak berani dilakukan, karena ada UU dan UUD yang mengikatnya. Jadi dari sisi motif, sebenarnya hal ini hanya keterpaksaan. Inilah yang membuat adanya celaan rakyat bermental gratisan tersebut.

Salah Paham Soal Rakyat Kita

Apakah lebih malas orang eropa di banding kita? Ini sekedar pertanyaan saja. Bukan untuk melihat produktifitas secara total, tapi melihat sisi kemalasan saja. Sebab, produktifitas menyangkut juga soal tekhnologi dan upah.

Di desa desa petani kita sudah bangun Subuh jam 5. Lalu pergi ke sawah atau ladang pukul 6 pagi. Lalu mengerjakan sawah sampai siang. Istirahat. Lalu perempuannya menyiapkan makanan siang. Lalu mereka melanjutkan kerja sampe petang. Artinya, siklus produksi orang orang desa secara normal bekerja 12 jam.

Di Belanda, para petani mulai mengerjakan sawah atau mencabut umbi Tulip (Bulbs) pukul 7 pagi. Mereka istirahat siang hari. Lalu dilanjutkan sampe sore pk 4. Artinya mereka bekerja 9 jam.

Bagaimana di industri?
Buruh buruh di pabrik di Indonesia mulai kerja pukul 8 pagi dan harus absen jam 7 pagi. Mereka bekerja sampe jam 5 sore. Umumnya lembur sampai jam 9 malam. Rata rata buruh di Indonesia bekerja 10 sd 12 Jam sehari.

Buruh buruh pabrik pembuatan kapal (shipyard company) di pinggiran Rotterdam Belanda, di mana saya pernah bekerja, bekerja mulai jam 7 pagi. Pulang jam 4 sore. Mereka umumnya menolak lembur. Rata rata kerja 9 jam sehari.

Dari perbandingan di atas sesungguhnya bangsa kita adalah pekerja keras. Kita bukan bangsa pemalas. Itu situasi alami manusia Indonesia.

Lalu di mana sebenarnya letak kesalahan sehingga ada penistaan bahwa bangsa ini bermental budak, pengemis dan gratisan?

Apakah adanya situasi yang membuat rakyat kurang produktif terjadi karena persoalan Struktural atau Kultural? Apalah orang itu miskin, malas dan gratisan karena memang keturunan budak? Atau sebenarnya secara struktural rakyat ini tidak punya ruang gerak untuk hidup sejahtera? Inilah sebenarnya perdebatan lama dan klasik dalam mazhab teori pembangunan dalam menyoroti produktifitas rakyat.

Jokowi dalam analisanya pada tulisan Revolusi Mental, sebenarnya sudah tepat. Bahwa situasi hancurnya sistem kita disebabkan penyelenggara negara yang korup, boros, pengutang, jongos asing dan memperkaya diri. Setya Novanto dkk., misalnya, telah mengkorupsi hampir 50% proyek E-KTP, di contoh lain birokrasi negara telah meminta sogokan untuk ijin ijin pabrik dan perusahaan, Projek proyek negara dialokasikan untuk menstimulasi Projek padat modal agar berbuah “kick back” atau bancakan yang lezat, dll. Ini semua mengakibatkan hilangnya pasar yang sempurna, yang memungkinkan rakyat bisa berkinerja dengan baik.


Dampak lain adalah sempitnya Labour Market atau pasar tenaga kerja, bahkan setelah dilakukan fleksibilitas pasar. Penyerapan tenaga kerja per 1% pertumbuhan semakin kecil, hanya 200 ribu an saja. Padahal di masa Suharto 1 % menyerap 500.000 tenaga kerja.

Selain itu, upah buruh semakin kecil. Karena, disamping pengusaha yang rakus, pengusaha juga memotong upah buruh untuk biaya biaya siluman tadi. Upah buruh terus menerus kalah jauh di banding Malaysia dan thailand.

Dengan persoalan struktural yang massif, tentu menyalahkan rakyat bermental gratisan bukanlah langkah yang tepat.
Tidak mungkin mengharapkan rakyat berbuat banyak jika penguasanya tidak menyelesaikan persoalan struktural yang ada, seperti korupsi, memanjakan asing, dan menciptakan upah murah.

Social Policy dan Human Investment

Apa yang disebut Sri Mulyani soal menggelontorkan dana yang besar kepada pendidikan dan kesehatan, perlu dicermati sebagai berikut:

(1) Social Policy saat ini merupakan kompromi kaum kapitalis dunia, di mana kapitalisme baru ditandai dengan human investment yang besar, agar manusia manusia yang tertinggal bisa di dorong masuk dalam pasar (market). Untuk itu Bank Dunia, di mana Sri Mulyani pernah memimpin, sudah faham dan menjadikan langkah ini sebagai inti program.

2. Terlepas dari urusan kapitalisme dan human investment serta human capital, pemerataan dan kualitas pendidikan menjadi cita cita bangsa, yang tertuang dalam pembukaan UUD45, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

3. Jumlah 20% anggaran pendidikan kita yang selalu di klaim besar itu, sebenarnya pun tidak sesuai riil nya. Karena, jumlah itu merupakan akumulasi dari semua kegiatan pelatihan dan pendidikan di sektor sektor kementerian, bukan dalam maksud pendidikan yang fundamental di sekolahan.

4. Begitu juga anggaran kesehatan, yang seharusnya sudah dipatok 5 % APBN. Kesehatan bangsa merupakan bagian dari kualitas manusia manusia kita. Apalagi dikaitkan dengan adanya bonus demografi dalam 15 tahun mendatang.

Lalu kenapa Sri Mulyani mengeluhkan itu dan menuduh rakyat senang gratisan?

Di sinilah rupanya kita akhirnya tahu Revolusi Mental yang ditulis Jokowi tahun 2014 lalu kandas ditengah jalan ataupun memang sekedar pencitraan menjelang pilpres saja. Jawabannya kita tunggu.



Indonesia Corruption Watch (ICW) mendalami adanya sejumlah cara yang berpotensi dilakukan sejumlah pihak agar dapat memberikan tekanan atau intervensi kepada para hakim yang saat ini sedang menangani kasus Korupsi e-KTP. Salah satunya dari DPR lantaran nama ketuanya yakni Setya Novanto ikut terseret dalam skandal mega proyek tersebut.

Peneliti ICW Lalola Easter menyampaikan, pertama DPR RI telah menggunakan hak angket saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki kasus e-KTP tersebut. Hal itu disinyalir menjadi upaya intervensi terhadap KPK.

Kemudian independensi hakim dapat dipengaruhi oleh Senayan dengan yang saat ini dilakukan itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. Memang masih berlangsung di Komisi III. Rancangan regulasi tersebut mengatur fungsi pengawasan, seleksi, dan masa pensiun hakim," jelas dia.

Menurut ICW, tentu masih ada hal lain yang dapat dilakukan oleh DPR. Bukan tidak mungkin upaya menjegal KPK terus dilancarkan.

Selain itu, ada tiga hal yang juga perlu diperhatikan dalam upaya sejumlah pihak mempengaruhi hakim. ICW sendiri telah melakukan kajian dan menemukan berbagai pola dan modus mempengaruhi pengadilan yang juga melibatkan hakim.

"Pertama sebelum dan saat mendaftarkan perkara. Hal itu dilakukan agar perkara jatuh kepada hakim yang menguntungkan para pemesan. Kedua pada tahap persidangan agar hakim tidak bersikap objektif seperti mengesampingkan bukti atau saksi. Terakhir ketika pembacaan putusan sehingga akan menguntungkan terdakwa atau pihak lain yang terlibat," beber Lalola.

Perihal tersebut dikhawatirkan digunakan oleh para pelaku korupsi e-KTP dengan memanfaatkan kekuasaannya bahkan kekayaannya. Mereka juga bisa mencoba lepas dari jeratan kasus tersebut menggunakan upaya praperadilan.

Dari situ, Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus awas dan terus memantau gerak gerik hakim. Pasalnya, praperadilan juga seringkali digunakan pelaku korupsi agar lepas dari jerat hukum.

Seperti Komjen Budi Gunawan dan Hadi Poernomo yang lolos dari jerat KPK lewat proses praperadilan. Peristiwa itu kemudian jadi contoh para tersangka korupsi melakukan langkah yang sama.


"Merujuk kasus Korupsi e-KTP, sudah ada tersangka Miryam S Haryani yang mencoba upaya hukum praperadilan. Hakim memang menolak gugatan praperadilan tersebut dan penetapan tersangka sudah sah secara hukum. Dari situ, tidak menutup kemungkinan tersangka lain akan mengajukan upaya yang sama," Lalola menandaskan.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.