MANILA - Paolo Duterte, putra Presiden Filipina Rodrigo Duterte, dituduh terlibat impor sabu-sabu dari China senilai USD125 juta atau sekitar Rp1,6 triliun. Namun, dia mengelak tuduhan tersebut.
Tuduhan berasal dari Senator Antonio Trillanes, salah satu lawan politik Presiden Duterte. Dia menunjukkan foto putra presiden bersama pengusaha yang dianggap bertanggung jawab untuk impor narkoba.
Sang senator juga mengutip informasi intelijen asing yang menyebut bahwa Paolo Duterte adalah anggota sindikat kejahatan, di mana tato "naga" di punggungnya sebagai bukti.
Trillanes juga mendesak Maneses Carpio dan istrinya Sara Duterte (putri Presiden Duterte) yang dia curigai terlibat kartel narkoba, untuk membuka data rekening bank pribadi mereka yang dia duga terdapat lebih dari USD2,3 juta. Keduanya menolak menyebut jumlah uang di rekening mereka dengan alasan privasi finansial.
”Bagaimanapun, jika saya salah, seluruh dunia akan menertawakan saya,” kata Trillanes.
Paolo Duterte bersaksi di hadapan penyelidikan Senat Filipina pada hari Kamis. Dia mengklaim tidak memiliki hubungan dengan pengiriman sabu-sabu senilai ratusan juta dollar Amerika Serikat dari China ke Manila pada bulan Mei. Dia menggambarkan tuduhan tersebut tidak berdasar.
”Kehadiran saya di sini adalah untuk orang-orang Filipina dan untuk sesama Davaoenos yang saya layani,” kata Paolo Duterte. Davanoenos adalah sebutan untuk masyarakat Davao, tempat ayahnya bertugas sebagai wali kota selama lebih dari 20 tahun sebelum menjadi presiden tahun 2016.
”Saya tidak bisa menjawab tuduhan berdasarkan kabar angin,” lanjut Paolo yang merupakan Wakil Wali Kota Davao selatan, yang dilansir Reuters, Jumat (8/9/2017).
Ketika ditanya apakah foto tato naga di punggungnya yang dikirim ke Agen Anti-Narkoba AS untuk dianalisis, dia hanya menjawab; ”Tidak mungkin.”
Saudaranya, dan Wali Kota Davao, Sara Duterte melalui Facebook untuk menertawakan pertanyaan seputar tuduhan tersebut.
Jika tuduhan itu terbukti benar, maka ini akan jadi tamparan keras bagi Duterte yang telah mengobarkan perang melawan narkoba sejak tahun lalu.
Tuduhan berasal dari Senator Antonio Trillanes, salah satu lawan politik Presiden Duterte. Dia menunjukkan foto putra presiden bersama pengusaha yang dianggap bertanggung jawab untuk impor narkoba.
Sang senator juga mengutip informasi intelijen asing yang menyebut bahwa Paolo Duterte adalah anggota sindikat kejahatan, di mana tato "naga" di punggungnya sebagai bukti.
Trillanes juga mendesak Maneses Carpio dan istrinya Sara Duterte (putri Presiden Duterte) yang dia curigai terlibat kartel narkoba, untuk membuka data rekening bank pribadi mereka yang dia duga terdapat lebih dari USD2,3 juta. Keduanya menolak menyebut jumlah uang di rekening mereka dengan alasan privasi finansial.
”Bagaimanapun, jika saya salah, seluruh dunia akan menertawakan saya,” kata Trillanes.
Paolo Duterte bersaksi di hadapan penyelidikan Senat Filipina pada hari Kamis. Dia mengklaim tidak memiliki hubungan dengan pengiriman sabu-sabu senilai ratusan juta dollar Amerika Serikat dari China ke Manila pada bulan Mei. Dia menggambarkan tuduhan tersebut tidak berdasar.
”Kehadiran saya di sini adalah untuk orang-orang Filipina dan untuk sesama Davaoenos yang saya layani,” kata Paolo Duterte. Davanoenos adalah sebutan untuk masyarakat Davao, tempat ayahnya bertugas sebagai wali kota selama lebih dari 20 tahun sebelum menjadi presiden tahun 2016.
”Saya tidak bisa menjawab tuduhan berdasarkan kabar angin,” lanjut Paolo yang merupakan Wakil Wali Kota Davao selatan, yang dilansir Reuters, Jumat (8/9/2017).
Ketika ditanya apakah foto tato naga di punggungnya yang dikirim ke Agen Anti-Narkoba AS untuk dianalisis, dia hanya menjawab; ”Tidak mungkin.”
Saudaranya, dan Wali Kota Davao, Sara Duterte melalui Facebook untuk menertawakan pertanyaan seputar tuduhan tersebut.
Jika tuduhan itu terbukti benar, maka ini akan jadi tamparan keras bagi Duterte yang telah mengobarkan perang melawan narkoba sejak tahun lalu.
Perang melawan narkoba di Filipina, menurut data resmi yang diakui pemerintah Manila, telah menewaskan lebih dari 3.800 orang sejak Juli 2016. Namun, Human Rights Watch mengklaim angkanya mendekati 7.000 orang.
Posting Komentar
Posting Komentar