Anies yang Rasis? Ketika Supremasi Pribumi Diteriakan Seorang Keturunan Arab
Sewaktu saya membaca berita yang tersebar di beranda media sosial soal pidato pelantikan Anies, saya hanya bisa tertawa. Saya bahkan sampai pada sebuah kesimpulan, ketika seseorang telah jatuh jauh ke dalam ketamakan, mustahil mereka bisa berubah. Lumpur yang menelan mereka sudah terlalu pekat, terlalu gelap menghisap. Tampaknya, politisasi SARA yang sebelumnya dihidupi dengan begitu bergelora telah meninggalkan jejak yang permanen di dalam jiwanya. Dan hal itu terbukti hari ini (18/10/2017). Pidato pelantikan Anies menceritakan semuanya.
Entah apa maksudnya, ingin menggaet media dan perhatian publikah hingga ia mengeluarkan pernyataan yang begitu rusak? Apakah karena begitu kesalnya ia pada kondisi pemberitaan media yang tidak pernah meliput dirinya setelah pilkada DKI Jakarta? Kalau hanya demi penaikan pamor dan citra, bedebah sekali caranya. Membakar kembali isu SARA antara “pribumi” dan “non-pribumi”. Namun pertanyaannya, siapakah yang pribumi maupun yang non pribumi? Apakah seorang keturunan Arab seperti Anies termasuk kalangan pribumi sebagaimana dengan yang dia maksud?
Kalau yang Anies maksud sebagai pribumi adalah orang “Indonesia asli”, pertanyaannya siapa suku yang sesungguhnya asli di Indonesia? Selama ribuan tahun sebelum mulut Anies berbunyi pada pidato pelantikannya, Nusantara sudah merupakan tempat persinggahan dari berbagai etnis di dunia. Dimulai dari motif yang umumnya berdagang, lalu tinggal menetap dan akhirnya beranak cucu di tempat perantauan, ragam etnik yang menetap di tanah yang nantinya dikenal dengan sebutan Indonesia ini sudah terlalu banyak.
Tidak percaya? Silakan pelajari sejarah kuno Nusantara. Inskripsi Kaladi misalnya, sebuah catatan kuno dari sekitar tahun 909 masehi ini sudah menceritakan bagaimana suku bangsa Khmer (etnik yang banyak ditemukan di negara India, Bangdalesh, dan sebagian wilayah Asia tenggara modern), Mon (grup etnis yang menempati sebagian besar wilayah Myanmar modern), dan Champa (kelompok suku yang banyak ditemukan pada wilayah selatan dan tengah Vietnam modern) telah lama datang, menetap dan berdagang di tanah Jawa.
Sebagian suku yang dahulunya pendatang ini telah menetap, beranak cucu, dan secara turun temurun menjadi kelompok suku yang membentuk komposisi dari ragam etnik di Indonesia. Selama 1000 tahun lebih para pendatang ini telah hadir dan menetap di sini. Pertanyaanya sekarang, jikalau memakai logika Anies yang masih belum jelas itu, siapakah mereka? “pribumi” atau “non-pribumi”? Lalu bagaimana dengan keluarga Anies sendiri yang almarhum kakeknya sendiri merupakan seorang pendatang dari jazirah Arab?
Jadi, siapa yang “pribumi” dan “non-pribumi”? Siapa yang dapat kita katakan sebagai orang Indonesia asli? Orang yang lahir di Indonesia? Ya berarti semua WNI (apapun sukunya) adalah seorang pribumi.
Kalau kita menolak status WNI sebagai dasar yang paling sah dan mutlak soal ke-Indonesia-an yang asli itu, lalu kita mau pakai dasar apa? “orang Indonesia asli/pribumi itu haruslah yang nenek moyangnya murni dari Indonesia! Bukan yang lain!”
Heh tong dari zaman nenek moyang lu masih getok-getokan pake batu, gugusan pulau-pulau Nusantara udah jadi ajang pertukarang budaya dan manusia. Karena itu sejarah bangsa kita dibangun oleh beragam budaya dan aliran agama besar di wilayah Asia. Mulai dari Hinduisme, Budhisme, Konfusionisme, dan masih banyak lagi. Jadi coba cek dulu di garis keturunan nenek moyang lu itu, jangan-jangan lu juga setengah “pribumi” lagi.
Ya sudah ah, akhir kata dari saya bagi para pembaca (LASKAR4D). Belajar dari pengamalam saya pribadi dalam mengikuti pola narasi politik Anies selama pilkada kemarin, saya menyadari satu hal. Bahwa gaya berkomunikasi Anies memang lihai. Ia mengungkapkan kata untuk memainkan persepsi yang sebelumnya sudah tertanam di dalam benak publik. Istilah ia sebutkan, namun tak pernah ia definisikan.
Supaya apa? Supaya nanti ngelesnya mudah dan aman. Tanpa definisi yang jelas, semua bisa dimainkan dan direlatifkan. Pada akhirnya ia akan selalu menutup permainan kata yang kotor ini dengan sebuah kalimat “ya itu kan hanya soal penafsiran, maksud saya itu bukan begitu”. Memang wuasudahlah, hahahaha.
Posting Komentar
Posting Komentar