Pidato Anies Tentang Pribumi Langgar Inpres Tahun 2008 dan Harga Dirinya
Pidato Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 menjadi polemik, karena ia menyebut-nyebut sebuah kata yang sudah dilarang oleh Presiden BJ Habibie pada tahun 1998 dengan instruksi presiden nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan, yang ditandatangani oleh Presiden RI ke-3 BJ Habibie.
Namun entah apa yang ada di pikiran Anies, ia melanggar norma sosial. Secara hukum, sebenarnya tidak ada masalah karena tidak ada sanksi yang akan menjerat Anies Baswedan. Namun secara sosial, itu sangat berbahaya.
Mengapa berbahaya? Karena dikotomi pribumi dan non pribumi dimunculkan menjadi sebuah dikotomi yang memecah belah bangsa. Di dalam pidato Anies yang begitu panjang, lebar, dalam dan tidak berbobot ini, Anies memang mencetuskan istilah pribumi hanya satu kali. Namun sebab nila setitik, rusak susu sebelanga. Sebab satu kata pribumi, hancur semua pidato Anies Baswedan.
Inikah yang dinamakan keberpihakan? Rasanya memang benar, ini adalah bentuk gagal memahami sejarah. Apakah Anies adalah orang yang sebodoh itu. Tidak juga. Anies itu bekas mendikbud, ia adalah orang terpelajar. Ia lulusan Amerika, meskipun tidak sepintar BJ Habibie, ia tetap merupakan orang yang tidak bodoh.
Jadi penggunaan kata ‘pribumi’ tersebut merupakan sebuah penggunaan yang sangat sarat kepentingan politis. Buat apa sebut istilah pribumi, jika tanpa tujuan, padahal sudah dilarang? Istilah pribumi ini merupakan sebuah istilah yang sangat berbahaya digunakan, karena berpotensi membakar semangat para pendukungnya yang dikenal anarkis.
Terbukti dari ludesnya 5000 makanan gratis dalam waktu 10 menit. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bisa ludes dalam waktu 10 menit. Secara perhitungan matematis pun, jika satu orang jatahnya satu porsi, untuk menghabiskan dalam waktu 10 menit, setiap orang harus mengambil satu porsi dengan kecepatan satu per lima ratus menit alias tiga per dua puluh lima detik. Tak dapat dibayangkan bukan?
Anggap saja ada beberapa stasiun pengambilan makanan, tetap saja tidak masuk akal. Banyak pula pemberitaan bahwa ada copet, anak hilang, dan sebagainya dalam acara syukuran. Pendukung Anies berbeda total dengan pendukung Ahok.
Tak dapat dibayangkan bagaimana 5000 makanan ludes hanya dalam waktu 10 menit. Apakah ada pendukung yang membawa kantong sampah hitam yang besar, lalu lewat di depan meja sambil menyapu seluruh makanannya?
Hahaha. Dari perbedaan mentalitas pendukung Anies dan Ahok, saya bangga menjadi pendukung Ahok, sampai saat ini. Tak pernah terlintas di pikiran saya menyesal pernah mendukung Ahok. Mungkin banyak dari para pencoblos Anies, mulai menyesal karena kemenangan Anies. .....
Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami. Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan. Kita yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme. Kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini. Dan kita menginginkan Jakarta bisa menjadi layaknya sebuah arena aplikasi Pancasila.
Jakarta bukan hanya sekedar kota, dia adalah ibukota maka di kota ini Pancasila harus mengejawantah, Pancasila harus menjadi kenyataan. Setiap silanya harus terasa dalam keseharian. Dimulai dari hadirnya suasana ketuhanan di setiap sendi kehidupan ibukota. Indonesia bukanlah negara berdasarkan satu agama. Namun Indonesia juga bukan sebuah negara yang alergi agama apalagi anti agama. Ketuhanan selayaknya menjadi landasan kehidupan warga dan kehidupan bernegara sebagaimana sila pertama Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa....
Dan dalam kaitan itu, izinkan saya sebelum menutup sambutan ini, membacakan sebuah pantun untuk warga Jakarta. Bekerja giat di Kali Anyar, Mencuci mata di Kampung Rawa, Luruskan niat teguhkan ikhtiar, Bangun Jakarta bahagiakan warganya, Cuaca hangat di Ciracas, Tidur pulas di Pondok Indah, Mari berkeringat bekerja keras, Tulus ikhlas tunaikan amanah ....." ujar Anies dalam acara Selamatan Jakarta yang digelar di Balai Kota DKI, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2017).....
Akhir kata, ada sebuah pertanyaan yang muncul di benak saya setelah Anies melanggar Inpres nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Akankah di era Gubernur Anies, kejadian dikotomi pribumi dan nonpribumi seperti tahun 1998 terulang lagi? Hanya Tuhan yang tahu, karena Anies pun rasanya tidak tahu apa yang ia katakan. Ampuni saja
Posting Komentar
Posting Komentar