Meneladani Ahok: Di Penjara Bukannya Dihibur, Malah Menghibur
Ahok, seorang anak bangsa yang begitu mendedikasikan dirinya kepada warga Jakarta, membuat ia dikenal di seantero Indonesia, dan bahkan mendapatkan perhatian luar negeri. Sepak terjangnya selama lima tahun di Jakarta, menjadi titik klimaks yang begitu membuat seluruh mata terpana.
Bahkan orang acuh seperti Pak De Jokowi pun harus terhisap dalam lautan pemikiran dan tindakan Ahok yang begitu luas. Anak perantauan Belitung yang mengadu nasib di Jakarta, berhasil membuktikan bahwa daerah pinggir Indonesia, bisa memberikan kontribusi yang luar biasa kepada bangsa Indonesia. Ahok sudah menjadi sebuah trendsetter dalam berpolitik.
Selama ini kita tahu bahwa dunia politik sangat gelap, abu-abu, dan ada kabut merah tua yang merupakan uap dari darah-darah haram yang menguap karena panasnya panci penggorengan politik. Namun kehadiran Ahok 10 tahun terakhir ini justru menjadi sebuah momen yang sangat luar biasa bagi revolusi mental.
Tidak banyak orang yang dapat mengerti visi dan misi dari Presiden kita, Joko Widodo. Ahok adalah salah satu orang yang dapat mengimbangi Joko Widodo dalam mengerti visi misi. Sebagai orang Kristen, Ahok tahu setiap apa yang dikerjakan, selalu dilihat oleh Tuhan. Ia melihat pekerjaan sebagai birokrat dan pejabat publik merupakan sebuah tugas mulia, yang dikenal dengan istilah ‘panggilan’.
Menjalankan segala sesuatu, harus di dalam kesadaran akan Tuhan. Pengenalan akan Tuhan yang dimiliki Ahok, membuat dirinya begitu dikasihi rakyat. Apa yang dilakukannya adalah sebuah tindakan lintas agama. Sebenarnya konsep inilah yang harus dimiliki oleh setiap pejabat publik. Pejabat publik tidak perlu sampai menjadi orang-orang yang menjual agama, untuk mendapatkan ketenaran.
Cukuplah kita lakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara, itu pun merupakan pengamalan dari kehidupan agama juga, bukan? Menjadi manusia beragama dan bertuhan, tidak perlu dengan cara menunjukkan agama kita bukan? Kerjakanlah segala sesuatu yang baik, itu adalah investasi kita terhadap hari depan yang lebih baik.
Tindakan-tindakan yang kita lakukan, harusnya menjadi sebuah tindakan yang mencerminkan manusia beragama dan beradab, bukan malah menggunakan agama untuk menjadi biadab. Akhirnya, Ahok harus dikalahkan dan dihancurkan oleh isu-isu agama.
Hanya karena ia Kristen, apakah ia tidak berhak menegur agama lain? Ya, jika memang kalian tersinggung, saya sangat wajar, karena saya pun tersinggung jika agama saya dihina oleh Rizieq Shihab, dengan kalimat “Kalau Yesus Anak Allah, siapa bidanNya?”. Ini adalah penistaan jelas. Namun untuk memenjarakannya karena hal tersebut, saya rasa ini adalah sebuah hal yang paling konyol sedunia. Mengapa? Karena jelas bahwa Ahok dipenjara karena urusan politis, bukan agama.
Agama besar yang digadang-gadang ternyata membuat kepuasan warga Jakarta terhadap kinerja mereka harus turun. Orang yang kalah pada Pilkada, akhirnya harus dipenjara. Kurang sial apa lagi? Namun ini hanya pandangan saya yang terbatas. Jika melihat dari pandangan Ahok, ia justru merasa hal ini adalah sebuah pembelajaran. Belajar mengampuni, adalah tema besar di dunia ini.
Ahok sudah meminta maaf di hadapan publik, dengan tulus, sedangkan Rizieq, sudahkah kita mendengar permintaan maaf dari dirinya? Standar janda yang dimiliki oleh pendukung Rizieq adalah bentuk keputusasaan para penguasa lama karena melihat kinerja Ahok yang begitu luar biasa di Jakarta. Akhirnya ia harus dipenjara. Namun apakah ia selesai? Tidak! Ia malah menjadi semakin terang! Lihat saja surat-surat balasannya, yang justru menghibur banyak orang, ketimbang dihibur oleh banyak orang.
Apa yang dikerjakan di penjara? Banyak orang dekatnya yang mengatakan bahwa dirinya di Mako Brimob malah menjadi semakin terang. Ia berolahraga, membaca kitab suci, dan menulis. Tidak jarang ia membaca surat-surat dan membalas surat tersebut kepada para pendukungnya, dan setidaknya para simpatisannya.
Ini adalah sebuah keberpihakan yang benar, ditunjukkan oleh Pak Ahok di Mako Brimob. Kesempatan demi kesempatan dilalui tanpa mengeluh. Bahkan di dalam suratnya, saya melihat bagaimana api semangat yang dimunculkan Ahok begitu menyala dan menghangatkan lingkungan. Api lilin menghangatkan sedangkan api obor kemarahan para laskar, justru membakar. Inilah perbedaan dari lilin dan obor.
Posting Komentar
Posting Komentar